uts pai x7.x8.x9 2015/2016
Kamis, 15 Oktober 2015
Rabu, 12 Agustus 2015
DEFINISI KOGNITIF, AFEKTIF, DAN PSIKOMOTORIK
Definisi Kognitif, Afektif, dan Psikomotor
1.Kognitif Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Ranah kognitifmemiliki enam jenjang atau aspek, yaitu: 1. Pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge) 2. Pemahaman (comprehension) 3. Penerapan (application) 4. Analisis (analysis) 5. Sintesis (syntesis) 6. Penilaian/penghargaan/evaluasi (evaluation) Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungakan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan demikian aspek kognitif adalah subtaksonomi yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi yaitu evaluasi.
2.Afektif Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki kekuasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku. Ranah afektif menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang, yaitu: 1. Receiving atau attending ( menerima atua memperhatikan) 2. Responding (menanggapi) mengandung arti “adanya partisipasi aktif” 3. Valuing (menilai atau menghargai) 4. Organization (mengatur atau mengorganisasikan) 5. Characterization by evalue or calue complex (karakterisasi dengan suatu nilai atau komplek nilai)
3.Psikomotorik Ranah psikomotor merupakan ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) tau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar psikomotor ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan-kecenderungan berperilaku). Ranah psikomotor adalah berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari, melompat, melukis, menari, memukul, dan sebagainya. Hasil belajar keterampilan (psikomotor) dapat diukur melalui: (1) pengamatan langsung dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran praktik berlangsung, (2) sesudah mengikuti pembelajaran, yaitu dengan jalan memberikan tes kepada peserta didik untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap, (3) beberapa waktu sesudah pembelajaran selesai dan kelak dalam lingkungan kerjanya.
DEFINISI KOGNITIF, AFEKTIF, DAN PSIKOMOTORIK
Definisi Kognitif, Afektif, dan Psikomotor
1.Kognitif Ranah kognitif adalah ranah yang mencakup kegiatan mental (otak). Segala upaya yang menyangkut aktivitas otak adalah termasuk dalam ranah kognitif. Ranah kognitifmemiliki enam jenjang atau aspek, yaitu: 1. Pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge) 2. Pemahaman (comprehension) 3. Penerapan (application) 4. Analisis (analysis) 5. Sintesis (syntesis) 6. Penilaian/penghargaan/evaluasi (evaluation) Tujuan aspek kognitif berorientasi pada kemampuan berfikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yaitu mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungakan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut. Dengan demikian aspek kognitif adalah subtaksonomi yang mengungkapkan tentang kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat pengetahuan sampai ke tingkat yang paling tinggi yaitu evaluasi.
2.Afektif Ranah afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, dan nilai. Beberapa pakar mengatakan bahwa sikap seseorang dapat diramalkan perubahannya bila seseorang telah memiliki kekuasaan kognitif tingkat tinggi. Ciri-ciri hasil belajar afektif akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku. Ranah afektif menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang, yaitu: 1. Receiving atau attending ( menerima atua memperhatikan) 2. Responding (menanggapi) mengandung arti “adanya partisipasi aktif” 3. Valuing (menilai atau menghargai) 4. Organization (mengatur atau mengorganisasikan) 5. Characterization by evalue or calue complex (karakterisasi dengan suatu nilai atau komplek nilai)
3.Psikomotorik Ranah psikomotor merupakan ranah yang berkaitan dengan keterampilan (skill) tau kemampuan bertindak setelah seseorang menerima pengalaman belajar tertentu. Hasil belajar psikomotor ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungan-kecenderungan berperilaku). Ranah psikomotor adalah berhubungan dengan aktivitas fisik, misalnya lari, melompat, melukis, menari, memukul, dan sebagainya. Hasil belajar keterampilan (psikomotor) dapat diukur melalui: (1) pengamatan langsung dan penilaian tingkah laku peserta didik selama proses pembelajaran praktik berlangsung, (2) sesudah mengikuti pembelajaran, yaitu dengan jalan memberikan tes kepada peserta didik untuk mengukur pengetahuan, keterampilan, dan sikap, (3) beberapa waktu sesudah pembelajaran selesai dan kelak dalam lingkungan kerjanya.
Jumat, 31 Juli 2015
https://mufdil.wordpress.com/2009/08/06/kumpulan-doa-acara-formal/
https://mufdil.wordpress.com/2009/08/06/kumpulan-doa-acara-formal/
Selasa, 07 Juli 2015
Hadits tentang 30 Keutamaan Shalat Tarawih di Bulan Ramadhan
Hadits tentang 30 Keutamaan Shalat Tarawih di Bulan Ramadhan
Di dalam kitab Durratun Nashihin Fil Wa’zhi wal Irsyad karya Syaikh ‘Utsman bin Hasan bin Ahmad Syakir Al Khubari, seorang Ulama yang hidup di abad ke-9 Hijriyah, terdapat hadits mengenai fadhilah atau keutamaan shalat tarawih pada malam-malam bulan Ramadhan.
Berikut teks hadits tersebut:
عن علي بن ابي طالب رضي الله تعالى عنه أنه قال: ” سئل النبي عليه الصلاة والسلام عن فضائل التراويح فى شهر رمضان فقال
يخرج المؤمن ذنبه فى اول ليلة كيوم ولدته أمه
وفى الليلة الثانية يغفر له وللأبوية ان كانا مؤمنين
وفى الليلة الثالثة ينادى ملك من تحت العرش؛ استأنف العمل غفر الله ماتقدم من ذنبك
وفى الليلة الرابعة له من الاجر مثل قراءة التوراه والانجيل والزابور والفرقان
وفى الليلة الخامسة أعطاه الله تعالى مثل من صلى في المسجد الحرام ومسجد المدينة والمسجد الاقصى
وفى الليلة السادسة اعطاه الله تعالى ثواب من طاف بالبيت المعمور ويستغفر له كل حجر ومدر
وفى الليلة السابعة فكأنما أدرك موسى عليه السلام ونصره على فرعون وهامان
وفى الليلة الثامنة أعطاه الله تعالى ما أعطى ابراهيم عليه السلام
وفى الليلة التاسعة فكأنما عبد الله تعالى عبادة النبى عليه الصلاة والسلام
وفى الليلة العاشرة يرزقة الله تعالى خير الدنيا والآخرة
وفى الليلة الحادية عشر يخرج من الدنيا كيوم ولد من بطن أمه
وفى الليلة الثانية عشر جاء يوم القيامة ووجهه كالقمر ليلة البدر
وفى الليلة الثالثة عشر جاء يوم القيامة آمنا من كل سوء
وفى الليلة الرابعة عشر جاءت الملائكة يشهدون له أنه قد صلى التراويح فلا يحاسبه الله يوم القيامة
وفى الليلة الخامسة عشر تصلى عليه الملائكة وحملة العرش والكرسى
وفى الليلة السادسة عشر كتب الله له براءة النجاة من النار وبراءة الدخول فى الجنة
وفى الليلة السابعة عشر يعطى مثل ثواب الأنبياء
وفى الليلة الثامنة عشر نادى الملك ياعبدالله أن رضى عنك وعن والديك
وفى الليلة التاسعة عشر يرفع الله درجاته فى الفردوس
وفى الليلة العشرين يعطى ثواب الشهداء والصالحين
وفى الليلة الحادية والعشرين بنى الله له بيتا فى الجنة من النور
وفى الليلة الثانية والعشرين جاء يوم القيامة آمنا من كل غم وهم
وفى الليلة الثالثة والعشرين بنى الله له مدينة فى الجنة
وفى الليلة الرابعة والعشرين كان له اربعه وعشرون دعوة مستجابة
وفى الليلة الخامسة والعشرين يرفع الله تعالى عنه عذاب القبر
وفى الليلة السادسة والعشرين يرفع الله له ثوابه أربعين عاما
وفى الليلة السابعة والعشرين جاز يوم القيامة على السراط كالبرق الخاطف
وفى الليلة الثامنة والعشرين يرفع الله له ألف درجة فى الجنة
وفى الليلة التاسعة والعشرين اعطاه الله ثواب الف حجة مقبولة
وفى الليلة الثلاثين يقول الله: ياعبدى كل من ثمار الجنة واغتسل من مياه السلسبيل واشرب من الكوثرأنا ربك وأنت عبدى”
Dari Ali bin Abi Thalib berkata: “Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang keutamaan (shalat) Tarawih di bulan Ramadhan lalu beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berkata:
Di malam ke-1: Dosa-dosa orang yang beriman keluar darinya pada malam pertama seperti hari dilahirkan ibunya.
Di malam ke-2: Dirinya diampuni juga (dosa) kedua orang tuannya jika keduanya beriman.
Di malam ke-3: Malaikat memanggil dari bawah ‘Arsy: ‘Mulailah beramal, semoga Allah mengampuni dosamu yang lalu!’
Di malam ke-4: Baginya pahala seperti pahala membaca Taurat, Injil, Zabur dan Al Furqan (Al Qur’an).
Di malam ke-5: Allah memberinya pahala seperti orang yang shalat di Masjidil Haram, Masjid Madinah, dan Masjid Aqsha.
Di malam ke-6: Allah memberinya pahala seperti orang yang melakukan thawaf mengelilingi Baitul Makmur dan bebatuan pun memohonkan ampunan baginya.
Di malam ke-7: Seakan-akan dia bertemu Musa as dan kemenangannya atas firaun dan Haman.
Di malam ke-8: Allah memberikan kepadanya seperti apa yang telah diberikan-Nya kepada Ibrahim ‘Alaihis Salam.
Di malam ke-9: Seakan-akan dia beribadah kepada Allah seperti ibadahnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Di malam ke-10: Allah memberikan rezeki kepadanya kebaikan dunia dan akhirat.
Di malam ke-11: Dirinya keluar dari dunia seperti hari kelahirannya dari rahim ibunya.
Di malam ke-12: Pada hari kiamat dirinya akan datang seperti bulan di malam purnama.
Di malam ke-13: Pada hari kiamat dia akan datang dengan keamanan dari segala keburukan.
Di malam ke-14: Malaikat datang untuk menyaksikannya shalat taraweh dan kelak Allah tidak akan menghisabnya pada hari kiamat.
Di malam ke-15: Para malaikat dan para malaikat pembawa Arsy dan kursi bershalawat kepadanya.
Di malam ke-16: Allah Subhanahu wa Ta’ala menetapkan baginya kebebasan dari api neraka dan dimasukan ke surga.
Di malam ke-17: Diberikan pahala seperti pahala para Nabi.
Di malam ke-18: Para malaikat memanggil, ‘Wahai Abdullah, sesungguhnya Allah telah meridhaimu dan meridhai kedua orang tuamu.’
Di malam ke-19: Allah mengangkat derajatnya di surga Firdaus.
Di malam ke-20: Dia diberikan pahala para syuhada dan orang-orang shaleh.
Di malam ke-21: Allah membangunkan baginya sebuah rumah dari cahaya di surga.
Di malam ke-22: Pada hari kiamat ia akan datang dengan rasa aman dari semua kesulitan dan kecemasan.
Di malam ke-23: Allah membangun baginya sebuah kota di surga.
Di malam ke-24: Dikatakan kepadanya, ‘Ada 24 doa yang dikabulkan.’
Di malam ke-25: Allah mengangkat siksa kubur darinya.
Di malam ke-26: Allah mengangkatnya seperti pahala 40 ulama.
Di malam ke-27: Pada hari kiamat ia akan melintasi Shirathul Mustaqim bagai kilat yang menyambar.
Di malam ke-28: Allah mengangkatnya 1000 derajat di surga.
Di malam ke-29: Allah memberikan ganjaran baginya 1000 hujjah (argumentasi) yang dapat diterima.
Di malam ke-30: Allah berfirman: Wahai hamba-Ku makanlah dari buah-buahan surga dan mandilah dari air Salsabila.”
Status Hadits
Al Lajnah Ad Daimah Li al Buhuts Al Ilmiyah wa Al Ifta dalam fatwanya nomor 8050 menyebutkan bahwa hadits tersebut tidak memiliki landasan dan termasuk dalam hadits-hadits dusta terhadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.
DR. Lutfi Fathullah, penulis disertasi tahqiq kitab Durratun Nashihin mengatakan: “Ada sekitar 30 persen hadits palsu dalam kitab Durratun Nashihin. Di antaranya adalah hadits tentang fadhilah atau keutaman shalat tarawih, (yaitu) dari Ali Radhiallahu ‘Anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaih wa sallam ditanya tentang keutamaan shalat tarawih, (lalu beliau bersabda) malam pertama pahalanya sekian, malam kedua sekian, dan sampai malam ketiga puluh.Hadits tersebut tidak masuk akal. Selain itu, jika seseorang mencari hadits tersebut di kitab-kitab referensi hadits, niscaya tidak akan menemukannya.”
Senin, 06 Juli 2015
ketentuan zakat fitrah dan Perhitungan zakat fitrah
ketentuan zakat fitrah Perhitungan zakat fitrah sudah tidak asing lagi bagi kita sebagai umat muslim, tetapi tidak ada salahnya apabila kami membahas sedikit mengenai tata cara perhitungan zakat fitrah dan ketentuan zakat fitrah.
Perintah untuk menunaikan zakat fitrah terdapat pada hadist : Rasulullah telah mewajibkan zakat fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia dan yang kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barang siapa yang mengeluarkannya sebelum (selesai) shalat id, maka itu adalah zakat yang diterima (oleh Allah); dan siapa saja yang mengeluarkannya sesuai shalat id, maka itu adalah sedekah biasa (bukan zakat fitrah). (HR Ibnu Majah)
ketentuan zakat fitrah : Berdasarkan hadist diatas, jelas bahwa zakat fitrah wajib dikeluarkan oleh siapapun baik itu pria maupun wanita, dewasa maupun masih anak kecil.
Adapun soal kapan mulai dan akhir pembayaran, para ulama juga berbeda pendapat.
Hanafiyah : Tidak ada batas awal dan batas akhir. Boleh dibayarkan sebelum hari raya (1 Syawal), bahkan sebelum masuk Ramadhan. Juga tetap harus membayar zakat fitrah ini meski terlambat sampai lewat tanggal 1 Syawal.
Malikiyah : Sejak 2 hari sebelum hari raya sampai --paling lambat-- terbenamnya matahari tanggal 1 Syawal. Namun, jika sampai lewat batas akhir belum mengeluarkan zakatnya, ia tetap berkewajiban membayarnya. Dengan catatan, jika ia mampu (karena telah memenuhi syarat wajib) tapi mengakhirkannya sampai lewat hari raya, maka ia berdosa.
Syafi'iyah : Sejak hari pertama Ramadhan sampai tenggelamnya matahari 1 Syawal. Namun utamanya adalah sebelum salat 'id. Lebih dari itu, jika memang ia mampu dan tidak ada 'udzur maka ia berdosa dan tetap harus membayar. Namun jika ada udzur seperti kehilangan hartanya, maka tidak apa-apa, tapi ia tetap harus membayarkannya.
Madzhab Hanbali : Awal pembayaran zakat fitrah sama dengan madzhab maliki, yaitu dua hari sebelum hari ied. Sedangkan waktu terakhirnya sama dengan pendapat Syafi`i, yaitu hingga terbenamnya matahari 1 syawal.
Sedangkan untuk besaran zakat fitrah sendiri sudah ada dalam hadist "Rasulullah SAW telah memfardukan (mewajibkan) zakat fitrah satu sha’ tamar atau satu sha’ gandum atas hamba sahaya, orang merdeka, baik laki-laki maupun perempuan, baik kecil maupun tua dari kalangan kaum Muslimin; dan beliau menyuruh agar itu dikeluarkan sebelum masyarakat pergi ke tempat shalat Idul Fitri." (HR Bukhori Muslim)
Untuk di Indonesia sendiri , 1 sha' itu disepakati seberat 2,5 Kg beras. Jadi apabila harga beras sekarang Rp 10.000,- maka perhitungan zakat fitrah nya adalah :
2,5 x 10.000 = 25.000,-
Dianjurkan pula untuk menggunakan harga konversi nilai beras yang biasa kita konsumsi sehari hari / yang lebih baik. Jangan sampai kita memberi beras yang mutu nya rendah dan dibawah kwalitas yang biasa kita makan sehari hari.
Untuk penyaluran dianjurkan melalui lembaga amil zakat yang terpercaya , diantaranya melalui Baitul Maal Hidayatullah yang sudah resmi dipercaya oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan mendapatkan pengakuan / legalitas berupa SK Menag.RI No.538 Th. 2001 & sertifikasi KAN No.LSSM–008–IDN & ISO 9001.
Sekian , semoga artikel mengenai ketentuan zakat fitrah dan perhitungan zakat fitrah bermanfaat. amin
Kamis, 02 Juli 2015
DOA QUNUT DALAM SHALAT WITIR
DOA QUNUT DALAM SHALAT WITIR
Assalamu’alaikum Wr Wb.
Ustadz, di mushalla kami ketika shalat Tarawih setelah malam ke lima belas hari pada shalat Witirnya membaca Qunut. Apakah ini ada dalilnya ? Abdullah – Kaltim.
Jawaban :
Pengertian Qunut
Kata Qunut dalam bahasa Arab digunakan untuk beberepa pengertian, “Kata ‘Qunut‘ digunakan untuk pengertian berdiri, diam, berkesinambungan dalam ibadah, doa, tasbih, dan khusyu‘.”[1]
1. Khusyu’, sebagaimana ada dalam firman Allah l: “Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wustha. Serta berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu’.” (Al-Baqarah: 238).
2. Taat dan senantiasa ibadah, sebagaimana dalam firman Allah l:“Dan Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami. Dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan kitab-kitab-Nya, dan dia termasuk orang-orang yang taat.” (At-Tahrim: 12)
Sedangkan Qunut menurut istilah –sebagaimana yang didefinisikan oleh Ibnu ‘Allan- adalah nama doa yang dibaca pada tempat yang khusus ketika berdiri (dalam shalat).[2]
Pensyariatannya
Membaca doa Qunut pada shalat witir adalah sesuatu disyariatkan menurut jumhur ulama, berdasarkan dalil-dalil yang shahih dan sharih. Hanya mereka berbeda pendapat dalam bacaan dan tata caranya. Berikut pendapat masing-masing mazhab dalam masalah ini yang kami ringkaskan dari beberapa kitab [3] :
Mazhab Hanafi
Kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa doa Qunut dalam shalat witir dibaca sepanjang tahun, tidak hanya pada waktu bulan ramadhan saja. Ini pula pendapat ‘Abdullah bin Mas’uud, Sufyaan Ats-Tsauriy, Ibnul-Mubaarak, Ishaaq, dan penduduk Kuufah.
Tempat dibacanya Qunut adalah pada rakaat ketiga sebelum ruku’. Tata caranya dengan membaca takbir sambil mengangkat kedua tangan, lalu membaca doa Qunut. Hal ini didasarkan kepada pendapat Imam Ali yang melihat Nabi n jika hendak membaca doa Qunut memulainya dengan bertakbir terlebih dahulu. Pendapat ini sama dengan pendapat Malikiyah, namun bukan pada shalat witir, melainkan untuk Sholat Shubuh (karena mazhab Maliki termasuk yang berpendapat Qunut hanya ada pada shalat shubuh dan nazilah).
Mazhab Maliki
Mazhab ini masyhur diketahui menganggap bahwa Qunut diwaktu shalat witir adalah tidak disyariatkan dan hukumnya makruh dikerjakan. Ini didasarkan kepada riwayat Ibnu Umar yang tidak membaca Qunut pada semua shalat sunnah. Yang diketahui berpendapat semisal ini adalah Thawwus.
Mazhab Syafi’i
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa Qunut itu dibaca setelah ruku pada akhir Witir pertengahan bulan Ramadhan. Imam Rafi’I mengatakan : membaca Qunut pada shalat witir dimakruhkan menurut perkataan yang kuat dari imam Syafi’I sebelum masa akhir-akhir ramadhan.[4]
Pendapat Syafi’iyah ini bersumber dari riwayat Abu Dawud dan Baihaqi bahwa Ubay bin Ka’ab dan juga riwayat lain dari para Sahabat dan Tabi’in.
Dari ‘Amr bin Hasan, bahwasanya ‘Umar a menyuruh Ubay bin Ka’ab a mengimami shalat (Tarawih) pada bulan Ramadhan, dan beliau menyuruh Ubay bin Ka’ab a untuk melakukan qunut pada pertengahan Ramadhan yang dimulai pada malam 16 Ramadhan.
Namun dalam kitab Al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah jilid ke-34 pada halaman 64 disebutkan adanya pendapat sebagian syafi’iyah yang mengatakan Qunut witir adalah dari awal bulan ramadhan.
Mengenai tata caranya, menurut mazhab ini Qunut witir sebagaimana Qunut Subuh, dibaca pada waktu setelah bangkit dari ruku’ pada raka’at terakhir. Pendapat Syafi’iyah ini diketahui sebagaimana yang dipegang oleh shahabat Ali,[5] Ibnu Umar menurut suatu riwayat, Uyainah, nafi’ dan lainnya.
Mazhab Hanbali
Ulama’ Hanabilah –sebagaimana ulama Hanafiyah- berpendapat bahwa doa Qunut dalam shalat witir dibaca sepanjang tahun, tidak hanya pada waktu bulan ramadhan saja. Hanya saja mengenai waktu membacanya, Mazhab ini sama dengan dengan Syafi’i yakni sesudah bangkit dari ruku’. Namun bila dibaca sebelum ruku’ menurut mazhab ini juga dibolehkan.
Bacaan Qunut dalam witir
Para ulama berbeda pendapat mengenai bacaan Qunut dalam shalat witir. Hal ini karena memang ditemukan adanyabeberapa riwayat dalam hadits-hadits mengenai lafadznya. Berikut diantaranya :
1. Bacaan Qunut witir menurut Mazhab Hanafi dan Syafi’I :
اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِينُكَ، وَنَسْتَهْدِيكَ، وَنَسْتَغْفِرُكَ، وَنَتُوبُ إِلَيْكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ، وَنَتَوَكَّل عَلَيْكَ، وَنُثْنِي عَلَيْكَ الْخَيْرَ كُلَّهُ، نَشْكُرُكَ وَلاَ نَكْفُرُكَ، اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ، وَلَكَ نُصَلِّي وَنَسْجُدُ، وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ، نَرْجُو رَحْمَتَكَ، وَنَخْشَى عَذَابَكَ، إِنَّ عَذَابَكَ الْجِدَّ بِالْكُفَّارِ مُلْحَقٌ، اللَّهُمَّ اهْدِنَا فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنَا فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنَا فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لَنَا فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنَا شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إِنَّكَ تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِل مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِعَفْوِكَ مِنْ عُقُوبَتِكَ، وَبِكَ مِنْكَ، لاَ نُحْصَى ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ[6]
“Ya Allah, sesungguhnya kami bermohon pertolongan Mu, kami memohon petunjuk dari Mu, kami meminta ampun kepada Mu, kami beriman kepada Mu, kami berserah kepada Mu dan kami memuji Mu dengan segala kebaikan, kami mensyukuri dan tidak mengkufuri Mu.
Ya Allah, Engkau yang kami sembah dan kepada Engkau kami shalat dan sujud, dan kepada Engkau jualah kami datang bergegas, kami mengharap rahmat Mu dan kami takut akan azab Mu kerana azab Mu yang sebenar akan menyusul mereka yang kufur.
Ya Allah, berilah kami petunjuk sebagaimana orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk. Selamatkanlah kami dalam golongan orang-orang yang Engkau telah pelihara. Uruslah kami di antara orang-orang yang telah Engkau urus. Berkahilah kami dalam segala sesuatu yang Engkau telah berikan.
Hindarkanlah kami dari segala bahaya yang Engkau telah tetapkan. Sesungguhnya Engkaulah yang menentukan dan bukan yang ditentukan. Sesungguhnya tidak akan jadi hina orang yang telah Engkau lindungi. Engkau wahai Rabb kami adalah Maha Mulia dan Maha Tinggi.
" Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung dengan keridhaan-Mu dari kemarahan-Mu, dan dengan keselamatan-Mu dari ancaman-Mu. Aku tidak mampu menghitung pujian dan sanjungan kepada-Mu, Engkau adalah sebagai-mana yang Engkau sanjungkan pada Diri-Mu.”[7]
2. Bacaan Qunut witir menurut kalangan Hanbali :
اللَّهُمَّ اهْدِنَا فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنَا فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنَا فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لَنَا فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنَا شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إِنَّكَ تَقْضِي وَلاَ يُقْضَى عَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَ يَذِل مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ.[8]
3. Doa-doa Qunut Witir lainnya dalam hadits-hadits :
اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَلَكَ نُصَلِّيْ وَنَسْجُدُ وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ وَنَرْجُوْ رَحْمَتَكَ رَبَّنَا وَنَخَافُ عَذَابَكَ الْجِدَّ إِنَّ عَذَابَكَ لِمَنْ عَادَيْتَ مُلْحِقٌ.
“ Ya Allah, hanya kepada-Mu kami beribadah, untuk-Mu kami melakukan shalat dan sujud, kepadamu kami berusaha dan bersegera, kami mengharapkan rahmat-Mu, kami takut siksaan-Mu. Sesungguhnya siksaan-Mu akan menimpa orang-orang yang memusuhi-Mu.”[9]
اللَّهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَلَكَ نُصَلِّيْ وَنَسْجُدُ وَإِلَيْكَ نَسْعَى وَنَحْفِدُ نَرْجُوْ رَحْمَتَكَ وَنَخْشَى عَذَابَكَ إِنَّ عَذَابَكَ بِالْكَافِرِيْنَ مُلْحِقٌ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِيْنُكَ، وَنَسْتَغْفِرُكَ، وَنُثْنِيْ عَلَيْكَ الْخَيْرَ، وَلاَ نَكْفُرُكَ، وَنُؤْمِنُ بِكَ، وَنَخْضَعُ لَكَ، وَنَخْلَعُ مَنْ يَكْفُرُكَ.
“Ya Allah, kepada-Mu kami beribadah, untuk-Mu kami melakukan shalat dan sujud, kepada-Mu kami berusaha dan bersegera (melakukan ibadah). Kami mengharapkan rahmat-Mu, kami takut kepada siksaan-Mu. Sesungguh-nya siksaan-Mu akan menimpa pada orang-orang kafir. Ya Allah, kami minta pertolongan dan memohon ampun kepada-Mu, kami memuji kebaikan-Mu, kami tidak ingkar kepada-Mu, kami beriman kepada–Mu, kami tunduk kepada-Mu dan meninggalkan orang-orang yang kufur kepada-Mu.”[10]
سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ، سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ، سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوْسِ
“ Mahasuci Allah Raja Yang Mahasuci, Mahasuci Allah Raja Yang Mahasuci, Mahasuci Allah Raja Yang Mahasuci.”[11]
Dan ulama membolehkan menambahkan dengan doa-doa lain bahkan dengan redaksi buatan sendiri, yakni yang tidak diriwayatkan dari Nabi (ghairu ma`tsur). Dan tentu doa ma’tsur lebih utama untuk digunakan. Dan kebolehan ini pun disertai syarat doa itu tak boleh menyalahi qur’an dan hadits.[12]
[1] Al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah ( 34/57), Zad al-Ma’ad (1/276).
[2] Futuhah ar Rabbaniyah ‘ala al Adzkar an nawawiyah (2/286).
[3] Al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah, Fiqh al Islami wa Adillatuhu, Fiqh ‘ala Mazhab al ‘Arba’ah, dll.
[4] Majmu’ (4/15)
[5] Diriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib bahwasanya ia tidak melakukan Qunut kecuali pada setengah akhir bulan Ramadhan, yang dilakukannya setelah ruku’ (Sunan Tirmidzi, 1/479-480)
[6] Mutafaqqun ‘alaih
[7] HR. Abu Dawud no.1427, at-Tirmidzi no.3566, Ibnu Majah no.1179, an-Nasaa-i III/249 dan Ahmad I/98,118,150. Lihat Shahih at-Tirmidzi III/180, Shahih Ibni Majah I/194, Irwaa-ul ghaliil II/175 dan Shahih Kitab al-Adzkar I/255-256 no.246, 184
[8] HR. Abu Daud, Thabrani dan lainnya : shahih.
[9] HR. Ibnu Khuzaimah II/155-156 no.1100, sanadnya shahih.
[10] HR. Al-Baihaqi dalam Sunanul Kubra’ sanadnya menurut pendapat al-Baihaqi shahih.
[11] Abu Dawud no.1430, an-Nasaa-i III/245 dan Ahmad V/123, Ibnu Hibban no.677, al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah IV/98 no.972 dan Ibnus Sunni no. 706 dHadits ini shahih.
[12] Al Mausu’ah Fiqhiyah al Kuwaitiyah (34/65)
MAKNA DAN HAKIKAT NUZULUL QUR’AN
MAKNA DAN HAKIKAT NUZULUL QUR’AN
Puji syukur atas rahmat dan hidayah-Nya yang diberikan Allah Swt. kepada semua makhluk semesta alam. Karena dengan rahmat dan hidayah-Nya kita bisa menikmati kemuliaan yang sempurna, yaitu berupa nikmat iman, islam dan ihsan yang disampaikan melalui kitab al-Quran sebagai pedoman hidup. Selain itu hidayah yang berupa jalan yang terang benerang dan jalan yang lurus.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada nabi besar Muhammad Saw. Yang telah menuntun kita dari jalan yang penuh dengan kegelapan menuju jalan yang penuh dengan gemerlapan cahaya keimanan. Semoga kita semua mendapatkan syafaatnya di yaumul kiyamah dengan barokahnya Nabi Muhammad Saw.
Kali ini penulis akan memberikan ulasan sedikit tentang Nuzulul Quran, yang mana kita ketahui, bahwa nuzulul quran merupakan peristiwa diturunkannya al-Quran kepada Nabi agung Muhammad Saw. Seperti yang telah di firmankan Allah sebagai berikut:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ -١٨٥
Artinya: ”Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS.Al-Baqarah: 185).
Menurut ayat di atas, Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Quran dan di dalam hadits bahwa pada bulan Ramadhan telah di turunkan kita-kita yang lain yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelum nabi Muhammad. Yang mana lembaran-lembaran atau suhuf itu diberikan kepada masing-masing nabi yang bersangkutan secara sekaligus dari Baitul Izzah ke langit dunia yaitu di malam lailatul qadar. Serperti pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibnu Hambal dan Abu Said dari Imran Abul Awwam, dari Qatadah, dari Abul Falih, dari Abul Iswa, mengatakan:
أُنْزِلَتْ صُحُفُ إِبْرَهِيْمَ فِي اَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ, وَأُنْزِلَتِ التَّوْرَاةُ لِسِتِّ مَضَيْنَ مِنْ رَمَضَانَ, وَالْإِنْجِيْلُ لِثَلَاثَ عَشْرَةَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ, وَاَنْزَلَ اللهُ الْقُرْاَنَ لِأَرْبَعٍ وَعِشْرِيْنَ خَلَتْ مِنْ رَمَضَانَ.
Artinya: lembaran-lembaran nabi Ibrahim diturunkan pada permulaan malam Ramadhan dan kitab Tauarat diturunkan pada tanggal enam Ramadhan, dan kitab Injil diturunkan pada tanggal tiga belas Ramadhan, sedangkan al-Quran diturunkakn pada tanggal duapuluh empat Ramadhan.
Setelah diturunkan dari Baitul izzah diturunkan ke langit dunia secara langsung, kemudian diturunkan kepada nabi Muhammad secara berangsung-angsur (mutawatir) sesuai dengan keadaan dan kejadian-kejadiannya.
Begitu mulianya al-Quran tersebut, sehingga banyak masyarakat yang memperingati Nuzulul Quran. Mulai dari tanggal 15 sampai tanggal 24 Ramadhan. Bahkan kegiatan untuk memperingatinyapun bermacam-macam. Mulai dari khataman Quran secara sendiri-sendiri maupun kelompok, menggelar tabligh akbar dengan bertemakan Nuzulul Quran, dll yang dilakukannya setiap tahunan. maka seiring dengan kemajuan zaman, peringtan Nuzulul Quran sudah menjadi tradisi yang membudaya.
Pengertian Nuzulul Quran
Istilah ”“Nuzulul Qur’an”” berasal dari bahasa Arab, terdiri dari dua kata, yaitu ”Nuzul”, yang mempunyai arti ”turun” dan/atau ”maqam yang yang tinggi” yang terdapat pada (Q.S. an-Nisa: 105, al-Baqarah: 176, al-an am: 92) dan ”al-Qur’an”, yakni al-Qur’an (bacaan). Jadi, secara harfiah ”“Nuzulul Qur’an”” artinya turunnya al-Qur’an. Pengertian secara harfiah ini dinisbahkan kepada peristiwa penting penurunan wahyu Allah pertama kepada nabi dan rasul, yang kemudian diakhiri oleh nabi sekaliar Rasul Muhammad. Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Quran. Turunnya al-Quran dari Allah SWT kepada Rasullullah SAW diperingati setiap tanggal 17 Ramadhan. Menurut bahasa, kata Al-Qur’an adalah bentuk masdar dari kata kerja iqro yang berarti bacaan. “Quran” menurut pendapat yang paling kuat seperti yang dikemukakan Dr. Subhi Al Salih berarti “bacaan”, asal kata qara’a. Kata Al Qur’an itu berbentuk masdar dengan arti isim maf’ul yaitu maqru’ (dibaca). Karena Al-Qur’an bukan saja harus di baca oleh manusia, tetapi juga karena dalam kenyataannya selalu dibaca oleh yang mencintainya. Baik pada waktu shalat maupun di luar shalat. Di dalam Al Qur’an sendiri ada pemakaian kata “Qur’an” sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Qiyamah: 17 – 18:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ -١٧- فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ -١٨
Artinya: ‘Sesungguhnya mengumpulkan Al Qur’an (didalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggunggan kami. karena itu jika kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikut bacaannya”.
Adapun definisi Al Qur’an menurut istilah ialah: “Kalam Allah Swt. sebagai mukjizat yang diturunkan (diwahyukan ) kepada Nabi Muhammad dan ditulis di dalam mushaf dan diriwayatkan dengan mutawatir serta membacanya adalah ibadah”. Dengan definisi ini, kalam Allah yang diturunkan kepada nabi-nabi selain Nabi Muhammad Saw. tidak dinamakan Al Qur’an seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. atau Injil yang diturun kepada Nabi Isa a.. Dengan demikian pula Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad S.A.W, seperti Hadis Qudsi, tidak pula dinamakan Al Qur’an. Menurut Syaikh Muhammad Khudlari Beik, Al-Qur’an ialah firman Allah SWT yang berbahasa arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk difahami isinya dan diingat selalu, yang disampaikan kepada kita secara mutawatir, yang sudah ditulis dalam mushaf, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas. Dalam definisi tersebut di atas bahwa Al-Qur’an mengandung unsur –unsur Sebagai berikut :
Lafadz-lafadznya berbahasa arab
Ditulis dalam mushaf, dimulai dengan surat Al -Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas.
Diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW
Disampaikan secara mutawatir
Dr. Subhi Al-Shalih dalam “Mabahits fi Ulum Al -Qur’an” merumuskan definisi Al-Qur’an yang dipandang dapat diterima oleh mayoritas ulama terutama ahli bahasa, ahli fiqih dan ahli ushul fiqih, sebagai berikut: “al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang bersifat/berfungsi mu’jizat, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang ditulis dalam mushaf-mushaf yang diriwayatkan dengan jalan mutawatir dan yang dipandang beribadah membacanya2. Dari definisi yang dikemukanan di atas, bahwa pada intinya al-Qur’an itu adalah merupakan firman Allah. Perbedaan yang terjadi hanyalah dalam memberikan sifat-sifat dari firman Allah tersebut sehingga menjadi lebih spesifik dan tidak tertukar dengan firman-firman Allah selain al-Qur’an.
Proses Turunnya al-Quran
Menurut Adh-Dhuhhak menceritakan dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan: al-Quran diruturunkan secara keseluruhan dari sisi Allah dari Lauhul Mahfuzh melalui para malaikat mulia, penulis di langit dunia, lalu para malaikat itu menyampaikannya kepada Jibril secara berangsur-angsur delama 20 tahun, kemudian Jibril menyampaikannya kepada Nabi Muhammad Saw. secara berangsur selama 20 tahun.
Menurut al-Raghib, pada dasarnya ”Nuzul” itu mempunyai arti turunnya suatu benda (materi) dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Akan tetapi “Nuzulul Qur’an” tidak berarti demikian. Hal tersebut dikarenakan Allah Swt adalah satu zat non-materi yang tidak bertempat (tidak terbatasi oleh ruang), karena itu Nuzulul Quran haruslah diartikan dengan makna lain. Makna al-Qur’an itu sendiri menurut ahli tafsir adalah kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad secara mutawatir selama 23 tahun. Begitu juga ahli fiqh mengartikan al-Qur’an sebagai kalam Allah yang diturunkan kepada nabi Muhammad, menjadi mukjizat Nabi, lafadznya secara mutawatir yang ditulis dalam mushaf al-Quran diawali surat al-fatihah dan diakhiri dengan surat an-naas. Dengan demikian makna ”“Nuzulul Qur’an”” bukan berarti jatuhnya/turunnya al-Qur’an dari langit ke bumi begitu saja dalam bentuk mushaf yang sering kita baca seperti saat ini.
Dalam beberapa ayat al-Qur’an dijelaskan bahwa sebelum al-Qur’an berbentuk menjadi ayat/teks/lapazh dalam mushaf/kitab, eksistensi al-Qur’an telah ada di maqam yang tinggi di sisi Allah swt. Artinya, bahwa al-Qur’an ini mempunyai satu eksistensi yang berada dalam maqam yang tinggi, yang dari sanalah dia diturunkan.
Dalam al-Qur’an surah al-Wâqi’ah, ayat 77-80 tertulis:
إِنَّهُ لَقُرْآنٌ كَرِيمٌ -٧٧- فِي كِتَابٍ مَّكْنُونٍ -٧٨- لَّا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ -٧٩- تَنزِيلٌ مِّن رَّبِّ الْعَالَمِينَ -٨٠
Artinya: “Sesungguhnya al-Quran ini adalah bacaan yang sangat mulia. Pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh). Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. Diturunkan dari Rabbil ‘alamiin.” (Q.S. al-Waqiah: 77-80).
Ayat tersebut mengandung makna bahwa al-Qur’an yang sangat agung itu diturunkan kepada Nabi Muhammad yang mana di dalam kita tersebut terdapat ayat-ayat yang sangat terpelihara dan dihormati. Karena mulianya al-Quran tersebut, maka tidak ada yang boleh menyentuhnya di sisi Allah kecuali orang yang sudah di sucikan (yaitu orang-orang islam yang suci dari hadas besar maupun kecil), karena kita itu diturunkan dari Rabb seru sekalian alam yang memeliharanya sehingga tidak mengandung keraguan. bukan seperti anggapan orang-orang dari kaum majusi maupun kaum munafik.
Di dalam ayat lain tertulis:
حم -١- وَالْكِتَابِ الْمُبِينِ -٢- إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآناً عَرَبِيّاً لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ -٣- وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ -٤
Artinya: “Haa Miim. Demi kitab (al-Qur’an) yang jelas. Sesungguhnya Kami menjadikan al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). Dan sesungguhnya al-Qur’an itu dalam Ummul Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah.” (Q.S. az-Zukhruf: 1-4)
Ayat tersebut juga mengandung arti bahwa al-Qur’an bertuliskan Arab dan menggunakan bahasa Arab di sisi Allah adalah satu eksistensi yang sangat mulia lagi terjaga yang tersimpan dalam Ummul Kitab/ Lauh Mahfuzh, dan eksistensi mulia tersebut kemudian dijadikan dalam bentuk al-Qur’an yang kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Jadi, al-Qur’an sebelum diturunkan kepada Rasululullah Saw, disimpan terlebih dahulu di suatu tempat yang bernama Lauh al-Mahfudz (Q.S. Al-Burûj: 21-22). Bukan hanya al-Qur’an, seluruh kejadian yang telah, sedang dan akan terjadi di alam ini pun telah dicatat di tempat tersebut. Tentang Lauh al-Mahfudz, Imam Alusi berkata, ”Kami mempercayainya tanpa harus mencari hakikatnya maupun bagaimana pencatatan didalamnya”. Dari Lauh al-Mahfudz.
Secara implisit dalam surat al-Baqarah ayat 185, al-Dukhân ayat 3 dan al-Qadar ayat 1 dijelaskan bahwa al-Qur’an turun secara langsung dan utuh pada malam Lailatul Qadar. Turunnya al-Qur’an pada malam tersebut, masih berdasarkan teks ayat di atas, tidak seperti turunnya al-Qur’an kepada Rasulullah Saw. Karena al-Qur’an turun kepada Rasulullah Saw secara berangsur-angsur selama masa kenabian, sedang makna implisit dari ketiga ayat tersebut menunjukkan bahwa al-Qur’an turun secara langsung dan utuh di suatu tempat. Tempat tersebut terletak di langit dunia yang bernama “Baitul Izzah” sebagaimana riwayat Ibnu Abbas: ”al-Qur’an diturunkan (dari Lauh al-Mahfudz) dalam satu tempo ke langit dunia pada malam Lailatul Qadar, kemudian diturunkan secara berangsur-angsur (ke bumi) selama 20 tahun”. (HR. Hakim dan Baihaqy). Ringkasnya, perjalanan al-Qur’an dari Lauh al-Mahfudz tidak langsung ke bumi, melainkan “transit” terlebih dahulu di Baitul Izzah. Demikian pendapat mayoritas ulama tentang proses Nuzûl al-Qur’an. Kendati demikian tidak semua ulama sependapat dengan pendapat di atas.
Imam Zarkasyi mengklasifikasi 3 pendapat ulama tentang proses Nuzûl al-Qur’an sebagai berikut:
Dari Lauh al-Mahfudz, Al-Qur’an turun ke Baitul Izzah pada satu malam Lailatul Qadar secara langsung (munajjam), kemudian turun berangsur-angsur kepada Rasulullah Saw. Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama, semisal Imam As-Suyûthî, Thabarî, Qurthubî, Abu Syahbah dll.
Dari Lauh al-Mahfudz, Al-Qur’an turun ke Baitul Izzah selama 20 malam Lailatul Qadar, ada yang berpendapat selama 23 bahkan 25 malam Lailatul Qadar. Pada setiap malam Lailatul Qadar, Allah Swt. menurunkan beberapa ayat untuk setahun sampai tiba malam Lailatul Qadar selanjutnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Muqatil, Imam Abdullah al-Halimî dan Mawardî.
Al-Qur’an mulai diturunkan –dari Lauh al-Mahfudz – kepada Rasulullah Saw. pada malam Lailatul Qadar tanpa “transit” terlebih dahulu di Baitul Izzah (karena kelompok pendapat ini tidak mengakui adanya Baitul Izzah). Yang termasuk dalam kelompok pendapat ini yaitu Sya’bî, Muhammad Abduh, Rasyid Ridhâ dan Ibnu Asyur.
Terlepas dari perbedaan di atas, mayoritas umat Islam percaya bahwa Allah Swt menurunkan al-Qur’an (kitab samawi yang diturunkan untuk terakhir kalinya) dengan cara menurunkan lafazh dan kalimat-kalimat nafsi dengan gaya bahasa Arab yang kemudian diturunkan ke dalam kalbu Rasulullah Saw. Kemudian dikarenakan pengetahuan Rasulullah Saw terhadap makna dan arti lafazh dan kalimat-kalimat tersebut melalui dalalah i’tibari, maka dengan perantara itulah beliau tahu akan lafazh dan kalimat-kalimat tersebut dan dengan jalan inilah beliau menerima wahyu Ilahi. Setelah itu barulah Rasulullah Saw menyampaikan lafazh dan kalimat-kalimat tersebut dengan lisannya yang suci sesuai dengan lafazh dan kalimat-kalimat dengan arti aslinya. Dan dari sinilah ia disebut dengan Kalam Ilahi dan juga sebagai Mukjizat yang paling besar.
Ringkasnya, bahwa kitab al-Qur’an yang dibaca umat Islam tidak turun begitu saja dari langit, tetapi merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara wahyu, yang diturunkan secara berangsur-angsur selama 23 tahun.
Riwayat yang lain menjelaskan dalam kitab shahih sirah nabi: beliau berdiam diri di gua itu beberapa malam, hingga apabila habis perbekalan beliau pulang kerumahnya untuk mengambil bekal untuk persiapan beberapa malam berikutnya. Hingga pada siang hari senin bulan Ramadhan. Jibril mendatangi beliau pertama kali dengan tiba-tiba di dalam gua Hira. Aisyah meriwayatkan dari Rasulullah, beliau bersabda: lalu tiba-tiba datang malaikat kepadaku di dalam gua itu dan berkata: bacalah!, aku menjawab aku tidak bisa membaca, lalu ia memegangiku dan memelukku kuat-kuat sampai aku merasa sesak, kemudian melepaskanku dan berkata: bacalah!, aku menjawab: aku tidak bisa membaca, lalu ia memegangiku dan memelukku kuat-kuat untuk kedua kalinya sampai aku merasa sesak, kemudian melepaskanku dan berkata: (Q.S. al-Alaq: 1-5). (Fathul Bari 1: 24).
Adapun tanggal 17 Ramadhan yang selama ini dijadikan sebagai peringatan “Nuzulul Qur’an”, erat kaitannya dengan ayat al-Qur’an yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. yaitu surat al-‘Alaq ayat 1-5. Ayat tersebut diturunkan ketika Rasulullah Saw berada di Gua Hira’, yaitu sebuah gua di Jabal Nur, yang terletak kira-kira tiga mil dari kota Mekah. Ini terjadi pada malam Senin, tanggal 17 Ramadhan tahun ke-41 dari usia Rasulullah 13 tahun sebelum Hijriyah. Bertepatan dengan bulan Juli tahun 610 M. Malam turunnya permulaan al-Quran tersebut terjadi pada ‘lailatul qodar” atau ‘lailatul mubarakah”, yaitu suatu malam kemuliaan penuh dengan keberkahan.
Mengetahui makna dan hakikat “Nuzulul Qur’an” merupakan sebagian hal penting yang harus diketahui umat Islam, agar menambah keteguhan iman kepada kitab Allah SWT berupa al-Qur’an. Tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman dalam kehidupan manusia. Persoalan inilah yang menjadi keprihatinan sekaligus perhatian kita bersama, mengingat realitas kehidupan umat Islam (sebagai umat mayoritas di Indonesia) dari hari kehari semakin jauh dari al-Qur’an. Coba kita perhatikan dan buktikan, apakah setiap keluarga muslim menyimpan al-Qur’an di rumahnya?. Diduga jawabannya adalah ”tidak”. Apakah keluarga muslim yang mempunyai kitab al-Qur’an telah mampu membaca kitab suci itu? Diduga jawabannya adalah ”belum”. Apakah setiap muslim yang membaca al-Qur’an mengetahui arti dan makna kandungannya? Jawabannya adalah ”belum”. Apakah setiap muslim yang memahami kandungan al-Qur’an mampu mengimplementasikan nilai-nilai al-Qur’an dalam sikap dan perilaku hidupnya?. Sekali lagi jawabannya diduga serupa dengan sebelumnya.
Merupakan kewajiban setiap orang yang mengaku dirinya muslim untuk senantiasa menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman dalam kehidupanya di dunia. Wallahu a’lam. Dari berbagai sumber
Cara Mendapatkan Malam Lailatul Qadar | Malam 1.000 Bulan
Cara Mendapatkan Malam Lailatul Qadar | Malam 1.000 Bulan
Mengenai pengertian lailatul qadar, para ulama ada beberapa versi pendapat. Ada yang mengatakan bahwa malam lailatul qadr adalah malam kemuliaan. Ada pula yang mengatakan bahwa lailatul qadar adalah malam yang penuh sesak karena ketika itu banyak malaikat turun ke dunia. Ada pula yang mengatakan bahwa malam tersebut adalah malam penetapan takdir. Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa lailatul qadar dinamakan demikian karena pada malam tersebut turun kitab yang mulia, turun rahmat dan turun malaikat yang mulia.[1] Semua makna lailatul qadar yang sudah disebutkan ini adalah benar.
Keutamaan Lailatul Qadar
Pertama, lailatul qadar adalah malam yang penuh keberkahan (bertambahnya kebaikan). Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ , فِيهَا يُفْرَقُ كُلُّ أَمْرٍ حَكِيمٍ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi. dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad Dukhan: 3-4).
Malam yang diberkahi dalam ayat ini adalah malam lailatul qadar sebagaimana ditafsirkan pada surat Al Qadar. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ
“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.” (QS. Al Qadar: 1)
Keberkahan dan kemuliaan yang dimaksud disebutkan dalam ayat selanjutnya,
لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ , تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ , سَلَامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْر
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadar: 3-5).
Sebagaimana kata Abu Hurairah, malaikat akan turun pada malam lailatul qadar dengan jumlah tak terhingga.[2] Malaikat akan turun membawa kebaikan dan keberkahan sampai terbitnya waktu fajar.[3]
Kedua, lailatul qadar lebih baik dari 1000 bulan. An Nakho’i mengatakan, “Amalan di lailatul qadar lebih baik dari amalan di 1000 bulan.”[4] Mujahid, Qotadah dan ulama lainnya berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lebih baik dari seribu bulan adalah shalat dan amalan pada lailatul qadar lebih baik dari shalat dan puasa di 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadar.[5]
Ketiga, menghidupkan malam lailatul qadar dengan shalat akan mendapatkan pengampunan dosa. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[6]
Kapan Lailatul Qadar Terjadi?
Lailatul Qadar itu terjadi pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan.”[7]
Terjadinya lailatul qadar di malam-malam ganjil itu lebih memungkinkan daripada malam-malam genap, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar di malam ganjil dari sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan.”[8]
Lalu kapan tanggal pasti lailatul qadar terjadi? Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah telah menyebutkan empat puluhan pendapat ulama dalam masalah ini. Namun pendapat yang paling kuat dari berbagai pendapat yang ada sebagaimana dikatakan oleh beliau adalah lailatul qadar itu terjadi pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan dan waktunya berpindah-pindah dari tahun ke tahun[9]. Mungkin pada tahun tertentu terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau mungkin juga pada tahun yang berikutnya terjadi pada malam kedua puluh lima, itu semua tergantung kehendak dan hikmah Allah Ta’ala. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِى تَاسِعَةٍ تَبْقَى ، فِى سَابِعَةٍ تَبْقَى ، فِى خَامِسَةٍ تَبْقَى
“Carilah lailatul qadar di sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan pada sembilan, tujuh, dan lima malam yang tersisa.”[10]
Para ulama mengatakan bahwa hikmah Allah menyembunyikan pengetahuan tanggal pasti terjadinya lailatul qadar adalah agar orang bersemangat untuk mencarinya. Hal ini berbeda jika lailatul qadar sudah ditentukan tanggal pastinya, justru nanti malah orang-orang akan bermalas-malasan.[11]
Do’a di Malam Qadar
Sangat dianjurkan untuk memperbanyak do’a pada lailatul qadar, lebih-lebih do’a yang dianjurkan oleh suri tauladan kita –Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana terdapat dalam hadits dari Aisyah. Beliau radhiyallahu ‘anha berkata,
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَىُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ « قُولِى اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّى
”Katakan padaku wahai Rasulullah, apa pendapatmu, jika aku mengetahui suatu malam adalah lailatul qadar. Apa yang aku katakan di dalamnya?” Beliau menjawab,”Katakanlah: ‘Allahumma innaka ‘afuwwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ (Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf yang menyukai permintaan maaf, maafkanlah aku).”[12]
Tanda Malam Qadar
Pertama, udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْلَةُ القَدَرِ لَيْلَةٌ سَمْحَةٌ طَلَقَةٌ لَا حَارَةً وَلَا بَارِدَةً تُصْبِحُ الشَمْسُ صَبِيْحَتُهَا ضَعِيْفَةٌ حَمْرَاء
“Lailatul qadar adalah malam yang penuh kemudahan dan kebaikan, tidak begitu panas, juga tidak begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar tidak begitu cerah dan nampak kemerah-merahan.”[13]
Kedua, malaikat turun dengan membawa ketenangan sehingga manusia merasakan ketenangan tersebut dan merasakan kelezatan dalam beribadah yang tidak didapatkan pada hari-hari yang lain.
Ketiga, manusia dapat melihat malam ini dalam mimpinya sebagaimana terjadi pada sebagian sahabat.
Keempat, matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan jernih, tidak ada sinar. Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata,
هِىَ اللَّيْلَةُ الَّتِى أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِقِيَامِهَا هِىَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِى صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لاَ شُعَاعَ لَهَا.
“Malam itu adalah malam yang cerah yaitu malam ke dua puluh tujuh (dari bulan Ramadlan). Dan tanda-tandanya ialah, pada pagi harinya matahari terbit berwarna putih tanpa sinar yang menyorot. [14]”[15]
Bagaimana Seorang Muslim Menghidupkan Malam Lailatul Qadar?
Lailatul qadar adalah malam yang penuh berkah. Barangsiapa yang terluput dari lailatul qadar, maka dia telah terluput dari seluruh kebaikan. Sungguh merugi seseorang yang luput dari malam tersebut. Seharusnya setiap muslim mengecamkan baik-baik sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فِيهِ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ
“Di bulan Ramadhan ini terdapat lailatul qadar yang lebih baik dari 1000 bulan. Barangsiapa diharamkan dari memperoleh kebaikan di dalamnya, maka dia akan luput dari seluruh kebaikan.”[16]
Oleh karena itu, sudah sepantasnya seorang muslim lebih giat beribadah ketika itu dengan dasar iman dan tamak akan pahala melimpah di sisi Allah. Seharusnya dia dapat mencontoh Nabinya yang giat ibadah pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan. ‘Aisyah menceritakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَجْتَهِدُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لاَ يَجْتَهِدُ فِى غَيْرِهِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan melebihi kesungguhan beliau di waktu yang lainnya.”[17]
Seharusnya setiap muslim dapat memperbanyak ibadahnya ketika itu, menjauhi istri-istrinya dari berjima’ dan membangunkan keluarga untuk melakukan ketaatan pada malam tersebut. ‘Aisyah mengatakan,
كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ ، وَأَحْيَا لَيْلَهُ ، وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki sepuluh hari terakhir (bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarungnya (untuk menjauhi para istri beliau dari berjima’[18]), menghidupkan malam-malam tersebut dan membangunkan keluarganya.”[19]
Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Aku sangat senang jika memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan untuk bertahajud di malam hari dan giat ibadah pada malam-malam tersebut.” Sufyan pun mengajak keluarga dan anak-anaknya untuk melaksanakan shalat jika mereka mampu.[20]
Adapun yang dimaksudkan dengan menghidupkan malam lailatul qadar adalah menghidupkan mayoritas malam dengan ibadah dan tidak mesti seluruh malam. Bahkan Imam Asy Syafi’i dalam pendapat yang dulu mengatakan, “Barangsiapa yang mengerjakan shalat Isya’ dan shalat Shubuh di malam qadar, maka ia berarti telah dinilai menghidupkan malam tersebut”.[21] Menghidupkan malam lailatul qadar pun bukan hanya dengan shalat, bisa pula dengan dzikir dan tilawah Al Qur’an.[22] Namun amalan shalat lebih utama dari amalan lainnya di malam lailatul qadar berdasarkan hadits, “Barangsiapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadar karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.”[23]
Lailatul qadar untuk wanita haid
Bagaimana cara wanita haid menghidupkan lailatul qadar?
Jawaban:
Untuk wanita haid yang ingin medapatkan malam lailatul qadar
Wanita haid bisa melakukan banyak ibadah selain shalat.
Juwaibir mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh-Dhahak, “Bagaimana pendapatmu tentang wanita nifas, haid, musafir, dan orang yang tidur; apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh-Dhahak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Setiap orang yang Allah terima amalannya akan mendapatkan bagian lailatul qadar.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 341)
Keterangan ini menunjukkan bahwa wanita haid, nifas dan musafir tetap bisa mendapatkan bagian lailatul qadar. Hanya saja, wanita haid dan nifas tidak boleh melaksanakan shalat. Untuk bisa mendapatkan banyak pahala ketika lailatul qadar, wanita haid atau nifas masih memiliki banyak kesempatan ibadah. Di antara bentuk ibadah yang bisa dilakukan adalah:
Membaca Alquran tanpa menyentuh mushaf.
Berzikir dengan memperbanyak bacaan tasbih (subhanallah), tahlil (la ilaha illallah), tahmid (alhamdulillah), dan zikir lainnya.
Memperbanyak istigfar.
Memperbanyak doa.
Membaca zikir ketika lailatul qadar, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat dari Aisyah radhiallahu ‘anha, “Aku bertanya, ‘Wahai Rasulullah, jika aku menjumpai satu malam yang itu merupakan lailatul qadar, apa yang aku ucapkan?’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ucapkanlah, ‘اللَّـهُـمَّ إنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُـحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي’ (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Dzat yang Maha Pemaaf dan Pemurah maka maafkanlah diriku.)'” (Hadis sahih; diriwayatkan At-Turmudzi dan Ibnu majah)
Dalam Fatwa Islam Tanya-Jawab dijelaskan, “Wanita haid boleh melakukan semua bentuk ibadah, kecuali shalat, puasa, tawaf di ka’bah, dan i’tikaf di masjid. Menghidupkan lailatul qadar tidak hanya dengan shalat, namun mencakup semua bentuk ibadah. Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, ‘Makna ‘menghidupkan malam lailatul qadar’ adalah begadang di malam tersebut dengan melakukan ketaatan.’ An-Nawawi mengatakan, “Makna ‘menghidupkan lailatul qadar’ adalah menghabiskan waktu malam tersebut dengan bergadang untuk shalat dan amal ibadah lainnya.'”
Kesimpulan: Meskipun wanita berhalangan, mereka masih mampu untuk mendapatkan malam lailatul qadar.